LEMONVIE

Dear, good and loyal readers...

Beberapa belakangan ini saya dihantui ketidakpastian antara masih niat menulis blog film atau tidak. Penyebabnya mood yang buruk, kondisi rumah yang gaduh untuk menulis dengan tenang, dan juga rasa malas dan terganggunya emosi dan psikologis saya saat menulis terutama menulis review film.

Saya tidak tahu untuk menyebut kondisi psikis ini apa, tapi terkhusus menulis review film saya merasa ada efek psikologis soal gaya penulisan saya yang sampai sekarang masih terlampau kaku dan tegang. Pengaruh ini saya sadari dengan maksud hati ingin menulis dengan gaya bahasa saya sendiri, luwes dan menarik sesuai keinginan hati saya, malah membuat diri saya sendir terobsesi dengan SEO demi page ranking teratas di google. Rupanya obsesi ini merusak gaya menulis saya, lucunya untuk tulisan-tulisan diluar konten blog ini, terutama menulis serampangan di facebook atau tidak terkait rubrik review film kok anehnya lancar-lancar saja. Termasuk ketika saya menulis postingan yang lumayan panjang ini.

Dan akhirnya akibat dari mengejar reputasi blog, teknik SEO dsb, saya jadi semakin malas menulis karena tuntutan robot perayap. Belajar dan membiasakan menulis dari 2-3 Tahun belakangan ternyata tidak membuat tulisan blog saya ini jauh lebih baik. Akibatnya, blog lemonvie.net atau lemonvie.blogspot.com ini kode-kode html didalamnya mengalami kekacauan karena tidak konsistennya terhadap template ataupun sering mengutak-atik kode-kode tersebut tanpa saya menguasainya. Pageviews saya semakin anjlok, blog lemonvie saya mengalami gangguan-gangguan dan ketidaknyamanan. Ditambah saya kehilangan sentuhan menulis ulasan film saya disini.

Lalu, saya kepikiran. Di hati terdalam ternyata saya masih ada keinginan untuk menulis, meski sudah beberapa bulan hiatus dan malas menyentuh lagi blog yang sudah saya urus selama 3 Tahun. Saya sepertinya butuh berhijrah dan mencari suasana baru. Lalu, saya membuat blog baru dengan nama, akun dan template baru.

Saya sebetulnya seorang perfeksionis, walau agak malu mengakuinya, tapi saya sadar selalu merasa ingin mencari dan mengejar kesempurnaan. Menggonta-ganti template bahkan nama blog ini saja sudah sering saya ganti, sebetulnya membuat diri saya sendiri tidak konsisten. Dan akhirnya kekacauan ini adalah hasil dari perbuatan saya sendiri. Apalagi ketika saya kemarin berniat memasang domain, ketika domain mati, rupanya menghilangkan jejak-jejak penelusuran awal. Apalagi ketika orang mengetik domain berbayar, saat domain mati, status blog asli saya jejaknya menghilang digantikan kata bertuliskan "domain expired".

Saya harap di blog baru saya ini, saya bisa meneruskan passion dan menemukan sentuhan dalam menulis. Apalagi di blog terbaru ini, saya akan mencoba meringkas tulisan saya agar lebih padat, dan menambah tema konten yang jauh lebih bervariasi, seperti buku sebagai hobi baru saya. Ataupun sharing tentang musik-musik favorit saya.

Dan jika ada yang berminat berkolaborasi dengan saya untuk menulis demi kesenangan dan tanpa berharap upah. Saya bersenang hati menerimanya, asalkan kemampuan menulisnya lebih hebat dari saya.

Dengan ini blog lemonvie.net resmi saya tutup. Semoga konten di blog ini bermanfaat dan rasa cinta terhadap film semakin menggiring kita untuk menikmati film bukan cuman sebagai sarana hiburan semata, melainkan wadah ekspresi yang memberi kita nilai-nilai dan refleksi yang bahkan tidak mampu kita wujudkan dalam kehidupan kita sendiri. Ohya, jangan jadikan ini perpisahan sebenarnya (saya suka mendramatisir). Kalian bisa menikmati konten saya di blog baru saya.

My new blog's here


Dengan sebuah horror apocalypse tentang invasi alien terhadap bumi, film horror mainstream yang sedikit tampak seperti salah satu karya novelis terkenal Stephen King yang sudah diadaptasi kedalam film tahun 2008, The Mist. Film debut sutradara sekaligus penulis naskah John Krasinski, bersamaan dengan sang istri Emily Blunt, yang keduanya pun sama-sama merangkap sebagai tokoh utama juga sebagai keluarga pasutri tiga anak. Evelyn Abbott (Emily Blunt), Lee Abbott (John Krasinski), dan kedua anaknya Regan (Millicent Simmonds) dan Marcus (Noah Jupe). Konsep ceritanya sama seperti "It Comes At Night" tentang keluarga suburbian ditengah hutan lebat, yang harus bertahan hidup dari ancaman mengerikan yang mengintai kapanpun dimanapun oleh sesosok makhluk yang buta namun memiliki pendengaran yang sangat tajam. Sesuai judulnya, film ini tentang sebuah hutan yang sedikitpun tidak boleh mengeluarkan suara keras. Sekilas untuk seorang Krasinski yang notabene baru menggeluti kursi sutradara tidak cukup kerepotan dalam membuat wahana menegangkan dan pintar memainkan narasinya. Sayangnya, cerita film yang digarapnya memiliki banyak kekurangan, cukup beralasan bahwa beberapa adegan dalam film tidak terlalu pintar dan memiliki banyak kecolongan logika. Singkatnya, Krasinski membuat konsep yang terencana dan pintar dalam memainkan latar, tetapi membuat setiap perilaku karakter dalam film ini mempunyai banyak kecerobohan dan kebodohan. Contohnya, saat Evelyn yang mengambil cucian basahnya dan tersangkut oleh paku di tangga.

Meski begitu naskah dan cerita yang juga dibantu oleh Bryan Woods dan Scott Beck, bukanlah point yang membuat A Quiet Place jatuh total. Film ini tentu saja digarap dengan sangat baik oleh Krasinski, melalui sinematografer Charlotte Bruus Christensen yang mampu menghanyutkan saya dengan ketenangan dalam gambar siluet yang indah. Dengan sigap pengambilan landscape ladang jagung, hutan dan kota mati yang sebetulnya tidak terlalu diperlihatkan secara detil sebagaimana cerita film ini pun tidak begitu panjang lebar soal sebab dan asal muasal secara lebih luas, namun dengan gaya bak film bisu mengantarkan ketegangan dan atmosfer yang tak pernah lepas kendali secara sinematis. Selain itu, hal yang membuat A Quiet Place mampu meraih score 95% di rottentomatoes bukan karena horror ataupun konsep ceritanya, tetapi bagaimana Krasinski tetap memasukan unsur soal keluarga begitu kuat dan emosional. Pesan cerita dalam balutan konflik keluarga, dari peran Lee seorang ayah yang menjaga keluarganya tetap utuh, Evelyn yang berjuang mati-matian sebagai ibu saat ia hendak melahirkan anak ditengah kemelut bahaya, dan kedua anaknya terutama Regan, gadis yang merasa bersalah atas masa lalu yang dilakukannya, yang juga menganggap orang tuanya tidak lagi mempedulikan dan menyalahkannya atas apa yang terjadi.

Meskipun saya merasa monster dalam film ini tidak terlalu terlihat mengerikan, apalagi monster yang tidak mampu melihat ini hanya terlihat beberapa kali sekelibat seperti bayangan. Tapi, horror yang mengandalkan jump scare dan atmosfer ini tetap konsisten menjaganya sampai akhir, dengan konklusi yang tidak sampai jatuh pada antiklimaks.







Di sebuah mansion besar dan mewah. Seorang gadis berambut keriting bernama Amanda (Olivia Cooke) masuk untuk menemui teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya, Lily (Anya Taylor-Joy). Meski keduanya berasal dan tumbuh bersama dan sama-sama pula dari golongan keluarga mapan, perihal sekian lama tidak bertemu mereka mengalami kesulitan berinteraksi dan memahami satu sama lain. Ditambah sekelumit masalah personal diantara keduanya, Amanda yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi kejiwaan karena telah membunuh kuda peliharaan ibunya, sedangkan Lily hidup bersama Mark (Paul Sparks), ayah tiri yang dibencinya. Setelah mencoba dan semakin akrab, Lily yang mengetahui sifat sosiopat dalam diri Amanda, meminta Amanda untuk membantunya melakukan rencana pembunuhan terhadap ayah tirinya tersebut.

Thoroughbreds adalah film yang berasal dari debut sutradara Cory Finley, film yang awalnya akan digarap sebagai drama panggung dan mengalami limbo pasca gagal ditayangkan selama 2 Tahun. Film yang mirip dengan "Heathers" karya Michael Lehmann bercerita soal dua gadis yang sangat bermasalah dan kehidupan yang sangat kacau. Lily adalah gadis yang merasa terus-menerus sengsara akibat dorongan dan tekanan dari ayah tiri yang seringkali memaksa Lily secara sepihak, terutama tuntutan masalah sekolah khusus pilihan Mark yang tidak ia suka. Amanda justru kebalikannya, Lily yang ditunjukkan lebih emosional dan pemarah, justru penuh dengan sikap tenang, aneh dan melihat ia bisa memanipulasi air matanya sendiri, membuatnya menjadi sosok psikopat yang creepy.

Tapi, Cory sanggup menuturkan dinamika hubungan diantara keduanya begitu intim dan realistis. Saya seperti sedang menyaksikan dua orang dengan karakter dan kepribadian berbeda. Tapi, keduanya melahirkan chemistry yang aneh tapi likeable, melihat mereka bercengkrama dan bertengkar seperti gadis pada umumnya, namun saat menonton tivi sambil mengkritik akting dalam film klasik atau sambil duduk-duduk di teras membicarakan soal rencana pembunuhan, Wow..! Adapula Tim, pria dewasa, naif dan eksentrik pula sebagai tokoh disfungsional, pria drugdealer yang ditemui dan dibayar untuk melakukan pembunuhan oleh Lily ini kerap hobi bermuluk dan bermimpi hidup sukses dan mapan dengan modal usaha ilegal yang ditekuninya. Tim diperankan Yelchin menjadi perjalanan akting terakhirnya.

Meski Cory punya unsur manipulatif, hingga saya terjebak dengan moralitas para pelaku tokohnya. Didorong juga motif kekanak-kanakkan dan aksi pembunuhan yang saya rasa tidak begitu cerdik tapi diangkat melalui permasalahan, komedi gelap dan satir moral kaum ningrat yang sangat menarik, sampai puncak ending film ini justru malah terasa antiklimaks. Ada sesuatu yang mengambang meski menyelipkan gabungan antara twist dan ambiguitas yang justru tidak dibangun dengan kokoh.







Tepat 1 dekade setelah Marvel menerobos kesuksesan melalui MCU (Marvel Cinematic Universe) dengan mampu memboyong fanatisme masif dunia. Tentu saja ini bukan sekedar euforia semata, melainkan impian nyata dari segenap penonton yang dulu mungkin berangan-angan adanya crossover, termasuk saya ketika dulu masih berseragam abu-abu membayangkan akan adanya pertemuan antara Superman, Wonder Woman dan Batman dalam satu tim. Kesuksesan ini pun dibayar lunas ketika genap 10 Tahun Marvel terus-menerus membuktikan ketajaman mereka merangkul setiap film tanpa ada yang collapse. Dan puncaknya pasca Avengers: Infinity War, saya penasaran apa yang akan coba Marvel tawarkan, mengingat masih ada dua film lagi yaitu "Ant-Man and the Wasp" dan "Captain Marvel" sebelum nantinya kulminasi Avengers ke-4 tiba. Mengingat Avengers: Infinity War sendiri, saya seperti sedang menyaksikan major war atau klimaks cerita yang melibatkan antar-galaksi, ras alien dan dewa-dewa mitologi yang lebih melar. Dan ketika semuanya terjadi, kita pun bertanya apa / kemana peran Ant-Man dan setiap karakternya pada saat itu absent?

Dr. Hank Pym (Michael Douglas) dan anaknya Hope Van Dyne (Evangeline Lilly) mendapatkan misi baru untuk mencari Janet Van Dyne (Michelle Pfeiffer) istri Pym yang diduga masih hidup terjebak di Quantum Realm. Tentu saja pencarian mereka tidaklah mudah, pertama, mereka sedang diburu oleh FBI menyangkut konflik pasca film Captain America: Civil War. Kedua, musuh baru yang mampu menembus partikel padat, Ava aka Ghost (Hannah John-Kamen) yang mencoba mencuri teknologi milik Pym. Sedangkan sang tokoh utama, Scott Lang aka Ant-Man (Paul Rudd) pun sedang menjalani tahanan rumah, sehingga ia juga sedang terjebak dan mengalami hambatan untuk turut membantu misi mendesak tersebut.

 

Masih dengan sutradara yang sama, Peyton Reed beserta tim penulis naskah Chris McKenna, Erik Sommers, Paul Rudd, Andrew Barrer dan Gabriel Ferrari. Ant-Man and The Wasp memiliki warna yang hampir sama dengan film sebelumnya, ringan dan ceria dengan segala komedi pengobat lara di tiap menitnya. Hadir dalam sentuhan cerita soal keluarga juga tetek bengek menyoal new hi-tech hingga pengenalan lebih dalam dunia quantum realm yang pernah dimasuki Scott saat menyusut ke ukuran subatom. Eksplorasi dunia dilakukan oleh Marvel dari skala terkecil sampai skala terbesar semakin menembus dimensi yang tak terjamah akal dan kemampuan manusia, seperti ketakjuban kita tentang alam semesta dunia MCU di film Doctor Strange.

Film yang tampak sederhana ini mungkin di isi dengan dialog-dialog yang terdengar saintifik dengan istilah yang mungkin terdengar asing seperti subatom, quantum realm dsb. Tapi, filmnya tidak tampil begitu nge-jelimet dan memusingkan semacam "Interstellar" karya Christopher Nolan, tersirat pula dari wajah bengong dan ketidakpahaman Scott yang kerap kali terjebak dengan ocehan para jenius karakter membicarakan yang kadang kitapun hampir tidak paham. Komedi masih tetap mengguncang tawa, entah dalam keadaan normal atau keadaan kritis dan serius, bahkan sesekali mengandalkan kostum Ant-Man hingga repetisi lelucon ikonik Luis (Michael Peña) yang tetap banyol. Saya pun suka akan daya tarik baru tentang abstraksi visual, sajian porsi small-big swap events kostum Ant-Man yang tidak saja keren tapi dibuat lucu, debut The Wasp aka Hope dengan gaya rambut baru casual-nya, bersamaan kokohnya chemistry antara Scott aka Ant-Man dengan keterlibatannya dalam aksi yang lebih intens. Plus, Michelle Pfeiffer, pesona artis senior berusia 60 tahun yang tak kalah enchanting dan youthful, membuat saya terpikat untuk melihat lebih dinamika aksinya di film ini.


Selain itu, hadir pula Ava aka Ghost sebagai villain kedua wanita setelah Hela. Mungkin banyak yang mengecap buruk perihal karakter dan motifnya yang sentimentil, apalagi para pemuja Thanos, si big boss karismatik kerap dijadikan pembanding yang tak seimbang. Pemilihan tokoh yang kadangkala terbesit soal ability-nya melawan hukum fisika dan logika, namun saya mengamini Marvel membuatnya tanpa obsesi semata, melainkan masih mempergunakan efektifitas dan mencoba memainkan sisi kemanusiaan dan sentimen kehidupan tanpa memandang hitam-putih karakternya. Ada pula Dr. Bill Foster (Laurence Fishburne) rekan lama Hank Pym yang terlihat tak akur, dan selalu menganggap Hank Pym adalah rekan yang keras kepala dan egois. Trio Luis (Pena), Kurt (David Dastmalchian) dan Dave (T.I.) masih tetap tim yang tak ketinggalan untuk menambah adegan aksi dan humor menggelitik disetiap tempat. Dan tak lupa lupa keluarga Scott yang selalu tampak begitu erat dan harmonis, terutama little chemist dengan anaknya Cassie (Abby Ryder Fortson) yang semakin menggemaskan memadu kedekatan dengan ayah yang dicintainya.

Mencoba menetapkan genre family sebagai suntikan varian barunya, Ant-Man and The Wasp adalah wadah paling cocok untuk memperlihatkan secara subtil bahwa Marvel adalah studio yang tahu caranya menawarkan sesuatu tanpa terpengaruh euforia. Meski sekuel Ant-Man tidak terlalu istimewa, tapi sama seperti Thor: Ragnarok, cenderung memiliki cerita progresif dan terbuka, lelucon-lelucon segar, dan koloborasi kuat dua protagonisnya, hingga sentuhan manis soal keluarga begitu kental mengisi ruang-ruang cerita, meski kerap ada pula memandang sinis akan kebiasaan Marvel tentang konsep filmnya yang masih kurang berani dan kurang dark. Tapi, buat saya MCU sudah terkonsep dengan brilliant, cerdas dan berani, sehingga bukan mustahil jika MCU akan tetap mampu bersinar untuk 1 dekade lagi, jika mereka mau.







Dulu saya sempat mengira bahwa film horror adalah salah satu out date genre yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Melihat bagaimana pola pikir masyarakat yang sudah begitu maju dan seolah mereka tidak lagi gampang ditakuti oleh apalagi hal berbau mistis. Mendapati cerita teman saya yang baru menonton film IT, alih-alih takut sepanjang film, teman saya yang sebetulnya terbilang super-duper penakut malah menganggap Pennywise adalah badut yang lebih banyak berbuat konyol ketimbang seram. Tapi, sungguh daya tarik horor tak ubahnya genre lain yang berkembang seiring semakin canggihnya teknologi CGI, ada yang menyebutnya horror anti-mainstream atau modern horror. Horror jalur baru inilah yang kerap menghasilkan horror berkualitas dengan hasil berbeda seperti "The Witch" dan "It Comes At Night." Nah, kebetulan digarap oleh studio yang sama, A24 kembali menelurkan film antimainstream lainnya berjudul Hereditary.

Hereditary punya formula yang sama dengan keduanya, yaitu horror psikologis nan mengganggu lewat sesuatu yang tak nampak tapi menciptakan rasa takut dan cemas luar biasa. Dinahkodai oleh debut sutradara Ari Aster yang juga merangkap penulis naskah, menjadikan film Hereditary yang cukup banyak menjadi perbincangan hangat ini sukses membuat saya hampir terlompat dari kursi bioskop oleh pengalaman teror dengan rasa berbeda yang bahkan tidak saya jumpai dari film The Conjuring sekalipun. Meski tidak relevan untuk membandingkan dengan film tersebut, tentu saja Hereditary memiliki satu tingkat lebih baik dari film garapan James Wan ini.


Bercerita tentang Annie (Toni Collette) yang berprofesi sebagai pembuat miniatur bangunan, bersama dengan keluarga kecilnya yang terdiri dari suaminya Steve (Gabriel Byrne) dan kedua anaknya masing-masing si sulung, Peter (Alex Wolff) dan bungsu, Charlie (Milly Shapiro). Pasca ibu Annie meninggal karena penyakit demensia dideritanya, keluarga Annie perlahan mulai mengalami berbagai kejadian aneh dan mengerikan, yang kemudian menuntun Annie dari ancaman yang diwariskan oleh keluarganya sendiri secara turun temurun.

Ada yang mengatakan Hereditary ini memiliki kesamaan cerita dengan film Indonesia, Pengabdi Setan. Meskipun dibilang sama, tapi film yang tampil di Sundance Film Festival Februari 2018 lalu memiliki banyak modal untuk dianggap sebagai film unik dan berbeda dari film horror biasanya. Mungkin plot cerita terbilang umum, tapi saya suka bagaimana Aster mengolah sedemikian rupa sehingga malah menghasilkan teka-teki dan sandiwara penuh konflik emosional. Katakanlah saya tadi bilang bahwa Hereditary hampir membuat saya terlompat dari kursi, mungkin terdengar hiperbolis tapi jujur Hereditary bukan film bermodal jump scare sana-sini dengan scoring berlebihan demi menaikkan atmosfer. Cukup sederhana, film yang bermain dengan tempo lambat ini, membakar perlahan-lahan agar penonton jadi tenggelam didalamnya, sehingga beberapa kejutan yang bisa dibilang begitu tipis dan tak terduga begitu efisien mencengkram bulu kuduk penonton.


Tapi, horror dan ketakutan bukan elemen utama yang membuat Hereditary gampang disukai, Aster pun tidak main-main mengolah setiap sisi baik sinematografi yang apik hingga pengenalan karakter yang kuat. Sinematografi dari Pawel Pogorzelski melengkapi teror lewat visualnya, banyak gambar hingga close up wajah dengan beragam ekspresi sanggup memicu ketegangan dan emosi. Sinematis yang tidak saja mengagumkan, tapi juga sanggup melekat di ingatan penonton dalam jangka waktu lama. Dari kualitas akting yang didominasi oleh empat orang, Toni Collette sebagai leading act berakting luar biasa, berlakon sebagai Annie, ibu rumah tangga yang depresif dengan penyakit mental yang diwariskan oleh keluarganya, performa yang ditampilkan dengan segala kegelisahan dan kegilaannya mampu membuat saya sesak tak terhingga. Milly Shapiro dan Alex Wolff sebagai young cast juga punya daya magis dalam cerita, Milly yang digambarkan sebagai anak kecil dengan tingkah lakunya yang weird abis, dan Wolff berakting diluar dugaan dengan sosok remaja tanggung yang hobi menghisap ganja bersama temannya, tapi beberapa kali sorot wajahnya terekam begitu intens menjiwai karakternya yang labil ditengah kegilaan melanda keluarganya, dan salah satu scene yang memorable adalah ketika Peter memukul wajahnya di meja sampai berdarah, dan adegan ini real dilakukannya. Dan terakhir Gabriel Byrne, sosok kalem dari bapak yang kerap menjadi penengah dikeluarga gila ini.


Tapi, bukan berarti Hereditary berakhir tanpa cela, kerap kali saya membaca kritikan soal ending yang dianggap chessy, bahkan ada yang bilang gini, "endingnya udah gitu aja?". Hal ini pula yang saya rasakan setelah ending credit scene berakhir, ada mood yang hilang bercampur ketidak efektifan Aster meramu hasil, meski saya rasa semua kepingan puzzle tersusun rapi dengan simbolisme soal kutukan dibuat dengan sangat baik. Tapi, klimaks selalu punya peran besar menggeser mood penonton meski film Hereditary sendiri punya power cerita efektif luar biasa. Meski begitu, sekali lagi A24 berhasil merangkul horror antimainstream-nya, membawa teror psikologis dan curse-movie ketingkat lebih tinggi, beautiful, unique, powerful, emotional and to be sure it's haunting.